Proposal Cinta
Telah kuajukan proposal cinta kita. Malu-malu aku sembunyikan dulu identitasmu. Aku gunakan ilustrasi dan permainan narasi.
Ahh, bahagianya! Akhirnya tanggap pula mereka maksudku. Kamu mau tahu jawaban mereka? Berikut petikannya,
“Sing penting sholeh karo gemati, nduk... Ibu setuju.” terang ibuku
“Nikah itu seumur hidup dek, paling penting padukan visi, jujur dan
saling terbuka! Aku nggak pengen nantinya nasibmu berakhir kaya aku,
cerai.”
Duh! Sempat menciut pula hati ini! Mana kita belum kenal.
Lalu terdengar suara kecil dari dapur, kakak iparku berjalan mendekati kami dan turut ambil suara…
“Dilihat dulu agamanya, sholatnya sudah beres belum, hafalan
Al-Qur’annya berapa. Jangan hanya memandang fisiknya saja.”
Alamaak!
Pekikku. Aku manggut-manggut sembari tersenyum meringis. Mana ada
hafidz yang mau sama anak begajulan ini. Juz Amma saja nggak
hafal-hafal. Matanya suka jelalatan. Ibuuk, anakmu nggak sebaik yang
kamu bayangkan. Aku juga banyak cacatnya. Aku nggak pengen muluk-muluk
kalau aku sendiri belum benar.
Kakakku yang paling tahu cerita kita sejak awal berkata,
“Lebih baik lupakan, kamu mau? punya pendamping yang bikin cewek-cewek
berimajinasi nggak-nggak tentang dia. Statusnya, dia bukan milik kamu
saja dek, bisa dibilang dia milik umum. Kecuali kalau dia sudah
berganti. Kamu mau yang seperti apa? Atau biar masmu ini yang
mencarikan? Dia punya banyak kenalan.” tangannya menunjuk suaminya.
“Cinta bisa dipupuk. Buktinya aku. Dulu aku sempet cinta mati sama
laki-laki. Tapi setelah ikhlas dan nikah dengan orang lain, tiba-tiba
memori tentang dia hilang.”
Iya aku tahu. Itulah
kenapa aku lebih milih lari pada materi-materi pelajaran daripada
terjebak kasus cinta mati sama laki-laki. Waktu SMA sempat ada temen
yang nembak. Aku bilang saja nggak pengen pacaran dan langsung mau
nikah. Hahaha! Dia sempet kaget juga. Lha wong masih umur
belasan kok mikirin nikah. Tapi aku nggak peduli. Mau dibilang kolot
kek, mau dibilang nggak asik, toh itu urusan dia. Namanya jatuh cinta
itu wajar, tapi kalo minta lebih mending cari yang lain saja. Itu aku,
sampai sekarang pun masih. Terserah mau komentar apa. Sudah tahu kan
alasan kenapa suka menjauh? Suka agak dingin dan aneh. Aku nggak mau
kita sama-sama rugi. Rugi waktu, rugi iman…
Dan, perbincangan pun ditutup dengan kalimat yang agak menohok.
“Kalau dia memang serius sama kamu seharusya dia bertandang ke rumah
kita, ngobrol sama bapak! Jangan banyak habiskan waktu buat mikirin yang
belum jelas, mending sekolah dulu yang bener. Ingat, dulu kamu ijin
pindah buat sekolah, bukan cari pacar atau suami,” lanjutnya.
Kenapa mayoritas kalimat negatif dan masuk akal semua...?
Untukku sendiri aku memilih opsi utama, agama juga pengaplikasiannya.
Untukku ataupun untuknya, karena aku sendiri telah jatuh hati pada agama
ini, meski terbilang lambat memahami dan terlambat memulainya.
Itulah komentar-komentar mereka. Kamu pasti protes, Yang ngejalanin kan kamu, bukan mereka?
Mendengar berbagai pendapat, tidak lantas aku mudah berubah. Bohong,
apabila selama ini aku tidak memiliki rasa apa-apa. Waktu yang telah
menjawabnya. Tadi sebagai cermin diri. Untukmu juga. Bagaimana denganmu?
Bagaimana dengan keluargamu? Bukankah pertalian otomatis mempertemukan
dua keluarga besar? Ahh, sudah banyak lika-liku yang telah kami jalani.
Dipandang sebelah mata pun sudah menjadi biasa. Bagaimanapun aku tetap
mencintai mereka. Dan kamu? Aku bertanya.
Tadi pendapat sepihak. Sejujurnya, aku tak pernah permasalahkan kau
berasal dari warna apa, sakit apa. Toh, semua itu bagian dari kenyataan
kehidupan. Tidur, makan, nikah, mati, semua orang jalani. Keluar dari
percakapan di atas aku terbiasa berpikir dan hidup bebas. Lagipula,
lagi-lagi mereka mengembalikan semua padaku. Hanya saja yang giat aku
pikirkan adalah kamu. Aku masih meragukan kebebasan yang kamu miliki.
Ucapan dan adanya kamu selama ini.
By : Ghumaisa - view my complete profile
November 23, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar